DAMPAK KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA TERHADAP PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN ANAK

 DAMPAK KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA TERHADAP 

PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN ANAK

Makalah

Diajukan pada Seminar Mata Kuliah
Psikologi Perkembangan
Manajemen Pendidikan Islam
UIN Alauddin Makassar

Oleh :
Andi Nirmala
Nim: 20300119048

Dosen Mata Kuliah

Dra.St. Nurjannah Yunus Tekeng, M.Ed.

JURUSAN MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM 3/4
FAKULTAS TARBIYAH & KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSSAR
2020





BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
        
        Keluarga  sebagai  sebuah  lembaga  pendidikan  yang  pertama dan  utama.  Keluarga diharapkan  senantiasa  berusaha  menyediakan  kebutuhan,  baik  biologis  maupun psikologis  bagi  anak,  serta  merawat  dan  mendidiknya.  Keluarga juga adalah sebagai kelompok inti, sebab keluarga adalah  masyarakat  pendidikan  pertama  dan  bersifat  alamiah.  Dalam hal ini, orang tua  menjadi  basis  nilai  bagi  anak.  Nilai-nilai  yang  ditanamkan  orang  tua  akan  lebih banyak dicerna dan dianut oleh anak. Perlakuan setiap anggota keluarga, terutama orang tua, akan “direkam” oleh anak dan mempengaruhi perkembangan emosi dan lambat laun akan membentuk kepribadiannya.
            
            Pada beberapa dekade terakhir, angka Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) mengalami kenaikan yang signifikan, seiring bertambahnya jumlah penduduk, kemajuan teknologi serta kehidupan masyarakat yang semakin kompleks Secara umum faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga dapat digolongkan menjadi dua faktor, yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang datang dari luar diri pelaku kekerasan. Seorang pelaku yang awalnya bersifat normal atau tidak memiliki perilaku dan sikap agresif bisa saja mampu melakukan tindak kekerasan jika dihadapkan dengan situasi dibawah tekanan (stress), misalnya kesulitan ekonomi yang berkepanjangan atau perselingkuhan atau ditinggalkan pasangan atau kejadian-kejadian lainnya. Sedangkan faktor internal adalah faktor yang bersumber pada kepribadian dari dalam diri pelaku itu sendiri yang menyebabkan ia mudah sekali terprovokasi melakukan tindak kekerasan, meskipun masalah yang dihadapinya tersebut relatif kecil. Kedua faktor di atas dapat berpengaruh negatif tidak hanya pada pelaku dan korban yang mengalami tindak kekerasan berupa fisik ataupun secara verbal. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang menjadi korban tidak langsung dari peristiwa kekerasan semisal pertengkaran kedua orang tuanya di rumah, juga memiliki kerentanan mengalami trauma psikis hingga pada akhirnya anak tersebut memiliki kemungkinan dapat terlibat atau meniru untuk melakukan hal yang sama di masa dewasanya, dengan kata lain korban KDRT baik secara langsung maupun korban tidak langsung, memiliki efek trauma yang sama tergantung usia dan jenis kelaminnya.

Hubungan antara trauma menyaksikan peristiwa KDRT dengan munculnya problem psikologis, memang akan melemah seiring meningkatnya usia anak. Atau dengan kata lain kemungkinan munculnya problem perilaku akibat KDRT menjadi lebih rendah jika anak menyaksikan KDRT pada usia yang lebih tua. Hal ini mengindikasikan bahwa usia dan pemahaman yang lebih matang dapat menjadi faktor protektif atas efek negatif trauma KDRT. Hanya saja, tidak semua kekerasan yang dilihat dan di dengar langsung anak dapat selalu dipantau oleh orangtua. Berangkat dari berbagai permasalahan di atas, maka tulisan ini diharapkan dapat mendeskripsikan secara singkat efek dari trauma kekerasan dalam rumah tangga terhadap perkembangan psikis yang dialami oleh anak. Selain itu, tulisan ini juga membahas beberapa upaya/solusi dalam pemulihan yang dapat dilakukan pada trauma dan gangguan stress yang dialami oleh anak.





BAB II
PEMBAHASAN 

A.    Deskripsi Kasus

Anak-anak yang tinggal dalam lingkup keluarga yang mengalami KDRT memiliki resiko yang tinggi untuk mengalami penelantaran, menjadi korban penganiayaan secara langsung, dan juga resiko untuk kehilangan orang tua yang bertindak sebagi role model mereka. Pengalaman menyaksikan, mendengar, mengalami kekerasan dalam lingkup keluarga dapat menimbulkan banyak pengaruh negatif pada keamanan dan stabilitas hidup serta kesejahteraan anak. Dalam hal ini anak menjadi korban secara tidak langsung atau disebut sebagai korban laten (laten victim). Inilah dikatakan fitrah kelembutannya sudah tidak ada lagi.[1]

Menurut Bair-Merritt, Blackstone & Feudtner (2006) anak yang melihat perilaku kekerasan setiap hari di dalam rumah dapat mengalamigangguan fisik, mental dan emosional. Carlson (2000) mengklasfikasikan tiga kategori pengaruh negatif KDRT yang dapat terjadi dalam kehidupan anak yang menjadi korban KDRT, yatitu :[2]

a. Problem emosional, perilaku dan sosial

b. Problem kognitif dan sikap

c. Problem jangka panjang.

    Gangguan emosional dapat dimanifestasikan dalam bentuk peningkatan perilaku agresif, kemarahan, kekerasan, perilaku menentang dan ketidakpatuhan serta juga timbulnya gangguan emosional dalam diri anak seperti : rasa takut yang berlebihan, kecemasan, relasi buruk dengan saudara kandung atau teman bahkan hubungan dengan orangtua serta mengakibatkan penurunan self esteem pada anak. Problem personal anak juga terganggu dan hal tersebut mempengaruhi kemampuan kognitif dan sikap. Hal ini dapat terlihat dari menurunnya prestasi anak di sekolah, terbatasnya kemampuan korban solving, dan kecenderungan sikap anak untuk melakukan tindak kekerasan.


B.    Analisis Kasus

Ketika seorang anak melihat kekerasan rumah tangga antara ayah dan ibu nya, hal itu sudah cukup untuk mempengaruhi perkembangan anak. Anak yang melihat kekerasan rumah tangga harus dilihat secara serius, dalam artian anak tersebut haruslah mendapat penanganan yang khusus oleh ahlinya seperti ahli Psikologi. Hal itu bertujuan agar apa yang dialami atau apa yang dilihat anak tersebut tidak akan menimbulkan trauma mendalam bagi anak tersebut.

Di dunia nyata, seringkali kita melihat anak yang menyendiri atau mendadak pendiam, padahal awalnya ia merupakan anak yang ceria. Dari sini, kita harus waspadai, mungkin saja anak tersebut mengalami kekerasan rumah tangga. Ketika seorang anak  menjadi korban kekerasan rumah tangga ia akan merasa cemas, ketakutan, meyendiri, mendadak murung, dan lainnya. Lambat laun, hal ini akan menyebabkan perubahan kepribadian anak dan akan menyebabkan terganggunya perkembangan anak tersebut.

Di Indonesia, kekerasan rumah tangga lumayan sering terjadi, lumayan banyak kasus yang dilaporkan, terapi banyak pula para korban kekerasan rumah tangga yang enggan melapor, hal itu dapat disebabkan karna takut, diancam pelaku, tidak ingin berpisah dan lain sebagainya.

Anak yang mengalami ataupun melihat kekerasan rumah tangga yang terjadi di antara kedua orangtuanya acap kali susah berkomunikasi ,susah menyampaikan pendapatnya pada oranglain. Hal itu disebabkan oleh gangguan psikologis anak yang berupa trauma,cemas, ketakutan akibat melihat kekerasan rumah tangga tersebut.

Kekerasan rumah tangga dapat memicu terjadinya pengulangan tindakan bagi anak yang melihat atau mengalami hal tersebut. Terlebih buruk lagi, apabila anak tersebut adalah anak perempuan, dan dulu pada saat ia masih kecil ia pernah melihat kekerasan rumah tangga yang dilakukan oleh Ayahnya kepada Ibunya, ia pun akan merasa trauma pada laki-laki, dan akhirnya pun menyukai sesama jenis.

Hal ini banyak terjadi di sekitar kita.  Tanpa kita sadari, kekerasan rumah tangga sebenarnya hal yang harus dihindari ataupun dijauhkan dari anak. Karna kekerasan rumah tangga yang dilihat atau pun dialami anak sangat mempengaruhi perkembangan anak tersebut.

Kekrasan rumah tangga seharusnya menjadi perhatian bagi banyak orang, dan harus lah adaya juga perhatian yang diberikan oleh pemerintah terhadap anak yang mengalaminya, karena kekerasa umah tangga ini sangat merusak mental dan psikologi anak tersebut. Memahami dampak kekerasan rumah tangga bagi perkembangan anak, adalah hal yang penting demi terciptanya generasi dengan mental yang baik. Adapun dampak kekerasan dalam rumah tangga bagi perkembangan kepribadian anak:[3]

1. Membentuk mental sebagai korban

Anak – anak korban kekerasan pada umumnya sudah mengalaminya sejak kecil sehingga mental sebagai seorang korban sudah terlanjur terbentuk di alam bawah sadarnya. Dengan demikian, bisa saja tertanam dalam pikirannya bahwa dirinya memang hanya pantas untuk dikorbankan. Jika memiliki pola pikir seperti itu, sang anak akan terus menerus terjebak pada siklus menjadi korban tanpa dapat memutuskan rantai tersebut selama hidupnya.

2. Melakukan kekerasan

Akibat dari kekerasan yang dialami bukan hanya menjadi korban semata, namun anak yang juga menjadi korban kekerasan justru bisa berubah menjadi pelaku kekerasan tersebut. Misalnya, ada penelitian yang mengungkap bahwa perilaku membully justru banyak dilakukan oleh mereka yang dulunya pernah menjadi korban bullying, dan kemungkinan itu sangat tinggi.

3. Rendahnya kepercayaan diri

           Kepercayaan diri anak yang rendah seringkali disebabkan oleh ketakutan akan melakukan sesuatu yang salah dan ia akan mengalami kekerasan lagi. Hal ini akan menyebabkan perkembangan anak terhambat. Anak akan sulit menunjukkan sikap inisiatif dalam memecahkan masalah, bahkan mengalami kesulitan bergaul.

4. Mengalami trauma

Kekerasan yang dialami anak akan menimbulkan luka hati dan juga trauma pada anak. Dampaknya dalam kehidupan anak selanjutnya akan sangat besar, salah satunya depresi, stress, dan gangguan psikologis lainnya yang dapat mengganggu kehidupan sosial serta aktivitas sehari – hari. Anak juga akan menjadi takut tehadap segala bentuk kekerasan, bahkan yang terkecil sekalipun, misalnya suara – suara keras, pembicaraan bernada tinggi, dan lain – lain.

5. Perasaan tidak berguna

Anak- anak yang sering mengalami kekerasan dapat mengembangkan perasaan tidak berguna di dalam dirinya. Bukan hanya itu, namun juga adanya perasaan tidak bermanfaaat dan tidak bisa ditolong akan berkembang dalam kejiwaan anak. Pada akhirnya, anak akan menjadi pendiam, mengucilkan diri dari lingkungannya, dan tidak bergaul dengan teman sebayanya karena merasa hal tersebut lebih nyaman.

6. Bersikap murung

Anak – anak identik dengan keceriaan, namun tindak kekerasan akan merampas senyum dari wajah seorang anak. Perubahan yang cukup drastis pada kondisi emosional anak akan langsung terlihat. Anak akan terlihat menjadi pendiam, pemurung, mudah menangis. Ia juga sama sekali tidak menunjukkan raut wajah yang ceria dalam keadaan yang menyenangkan sekalipun. Ketidak mampuan anak untuk mencari cara menghilangkan beban pikiran dengan efektif lah yang akan menghilangkan perasaan positif dari dirinya.

7. Sulit mempercayai orang lain 

Anak yang mengalami kekerasan merasa kehilangan figur orang dewasa yang bisa melindunginya, karena itulah sedikit demi sedikit kepercayaannya kepada orang lain akan mulai terkikis, dan anak akan sulit menaruh kepercayaan dan keyakinan pada orang lain lagi. Ia akan menganggap tidak ada orang yang bisa diandalkan untuk memberikan perlindungan kepadanya, karena itulah maka tidak ada orang yang layak untuk dipercaya oleh anak.

8. Bersikap agresif

Sikap agresif juga dapat ditunjukkan anak korban kekerasan sebagai hasil peniruan dari apa yang disaksikannya sehari – hari. Anak akan belajar bahwa sikap yang penuh kekerasan itu adalah sikap yang membuat seseorang menjadi kuat, karena itu ia juga harus bersikap agresif agar dapat menjadi orang yang kuat dan tidak lagi menjadi korban tindak kekerasan.

9.Depresi

Sikap murung anak yang berlanjut lambat laun bisa mengarah kepada depresi. Kehilangan kemampuan untuk merasa bahagia perlahan akan meningkatkan perasaan yang buruk dan depresif sehingga anak akan selalu dipengaruhi oleh perasaan yang negatif, tanpa adanya keinginan untuk berpikir positif untuk meningkatkan semangat di dalam dirinya. Anak juga dapat menderita gangguan kecemasan akut serta depresi kronis.

10. Sulit mengendalikan emosi

Kecenderungan anak yang menderita kekerasan untuk merasa kurang percaya diri dan tidak mempercayai orang dawasa, umumnya tidak dapat mengungkapkan perasaannya dengan benar. Anak kesulitan mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya sehingga mengalami kesulitan dalam mengendalikan atau menunjukkan emosinya sendiri kepada orang lain.

11. Sulit berkonsentrasi

Tekanan akibat kekerasan yang diterima anak juga dapat merusak kemampuan anak untuk berkonsentrasi dan fokus terhadap suatu hal. Misalnya, terhadap kegiatan sekolah dan pelajaran sekolahnya. Bisa saja minat dan bakat anak yang tadinya tampak besar dan menjanjikan akan menghilang secara drastis seiring dengan penurunan kemampuannya untuk berkonsentrasi.

12. Luka, cacat fisik atau kematian

Tanda – tanda kekerasan fisik yang dilakukan pada anak bisa berupa memar, bengkak, keseleo, patah tulang, lukaa bakar, perdarahan dalam, luka pada area kelamin, kurangnya kebersihan dan ppenyakit menular seksual serta banyak lagi yang tidak semuanya dapat langsung dilihat dengan jelas. Sudah pasti anak korban kekerasan akan enggan untuk memberi tahu orang lain mengenai hal yang dialaminya.

Biasanya anak takut jika pelaku mengetahuinya, kekerasan yang terjadi akan berlangsung lebih buruk, serta tidak ada orang yang bisa dipercaya. Kekerasan fisik yang berlangsung dalam waktu lama bisa menyebabkan anak mengalami cacat fisik atau bahkan resiko kematian ketika luka fisiknya telah menjadi sangat parah.

13. Sulit tidur

Tekanan pikiran yang dialami anak akan berlanjut hingga mempengaruhi pola tidur anak. Anak akan mengalami kesulitan tidur dan bahkan bermimpi buruk sebagai hasil dari beban pikiran yang disimpan di bawah sadarnya. Apabila anak kerap bermimpi buruk yang sukar dijelaskan penyebabnya, waspadalah karena bisa saja anak sedang mengalami suatu tinadk kekerasan pada saat itu yang tidak diketahui oleh Anda.

14. Gangguan kesehatan dan pertumbuhan 

Anak yang mengalami kekerasan dalam waktu yang lama atau berkepanjangan biasanya akan menunjukkan gejala fisik seperti gangguan kesehatan berupa gangguan jantung, kanker, penyakit paru, penyakit hati, obesitas, tekanan darah tinggi, kolesterol tinggi, dan juga kadar protein reaktif c yang tinggi. Bahkan mengalami gangguan penglihatan pendengaran, gangguan berbahasa, mengalami perkembangan otak yang terbelakang, dan mengalami ketidak seimbangan kemampuan sosial, emosional dan kognitif.

15. Memiliki kebiasaan buruk

Stres yang dirasakan anak sejak kecil dapat membawanya memiliki kebiasaan buruk yang dilakukan untuk mengalihkan pikirannya dari stres tersebut. Misalnya, merokok, menggunakan obat – obatan terlarang, ketergantungan alkohol, memilih lingkungan pergaulan yang buruk, melakukan seks bebas, dan banyak lagi yang dilakukan sejak usia dini apabila tidak ada pertolongan untuk anak korban kekerasan.

16. Kecerdasan tidak berkembang

Kekerasan dapat menekan proses tumbuh kembang anak. Perkembangn IQ anak akan cenderung menjadi statis dan bahkan tingkat IQ bisa mengalami penurunan. Perkembangan kognitif anak pun akan memburuk dan tidak seperti yang seharusnya. Dengan kata lai, kondisi kecerdasan anaak akan terhambat dengan kekerasan yang dialami anak secara terus menerus.

17. Menyakiti diri sendiri atau bunuh diri

Anak – anak yang mengalami kekerasan tidak dapat membela diri ataupun mencari pertolongan kepada orang lain. Ketidak mampuan mereka untuk mencari pertolongan tersebut akan menggiring anak kepada situasi dimana mereka sanggup menyakiti diri sendiri sebagai tindakan meminta tolong. Misalnya, mengiris dirinya sendiri dngn maksud menimbulkan luka fisik. Atau bahkan melakukan percobaan bunuh diri karena sudah merasa sangat putus asa.


C.    Solusi

Upaya pemulihan gangguan stress/trauma telah dilakukan oleh banyak ahli terapi, termasuk korban trauma itu sendiri. Namun dari berbagai upaya tersebut ada beberapa kasus yang berhasil ditangani dan tidak sedikit pula yang gagal. Joyce Whiteley Hawkes (2006: 46) mencatat, bahwa: Psikoterapi tradisonal, yang melibatkan usaha mengingat kembali trauma, merasakan emosi, serta melewati dan mengatasi trauma, boleh dibilang tidak berhasil. Bahkan proses mengingat kengerian-kengerian di masa lalu tersebut malah membuka kembali luka emosional mereka dan menyebabkan mereka lebih terpuruk lagi dalam trauma.

Banyak kasus trauma sebenarnya hanya dapat terselesaikan dengan mengubah sudut pandang yang bersangkutan terhadap trauma tersebut. Merubah sudut pandang ini adalah memberikan keyakinan pada korban bahwa apa yang dia alami merupakan hal yang khusus dan tidak semua orang sanggup untuk menjalaninya. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT, yang artinya: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (QS. Al-Baqarah (2): 286).

Dengan demikian keyakinan dan kepercayaan diri korban yang tinggi untuk hidup normal pasca trauma merupakan alat yang paling ampuh dalam mengatasi trauma itu sendiri. Menanamkan kepercayaan diri bukanlah hal yang gampang dan memerlukan proses yang panjang. Selain itu, bagi korban trauma yang masih anak-anak hal ini menjadi cukup sulit dan memerlukan bimbingan dan dukungan yang bersifat kontinyu. Selain itu, untuk menghilangkan perasaan-perasaan bawah sadar yang mencekam, diperlukan dorongan sugesti pada anak. Tentu saja hal itu harus dilakukan dengan tekun dan penuh kesabaran dan kasih sayang dari para orangtua maupun para konselor. Untuk mengatasi trauma pada anak, sebaiknya dilakukan terapi khusus berupa konseling untuk penyembuhan. Selain itu, orangtua mengkondisikan anak menjadi tenang dengan demikian tumbuh percaya dirinya kembali”.

Trauma adalah istilah untuk syok (atau serangkaian syok) yang meninggalkan bekas yang dalam dan menyakitkan di otak pasien. Tantangan atau kemunduran kecil yang terjadi dalam kehidupan normal mungkin akan menggangu selama beberapa hari, tetapi otak memiliki kemampuan untuk ‘menyembuhkan’. Seperti luka kecil yang dengan mudah menutup kembali dan tidak meninggalkan bekas luka, otakpun memiliki mekanisme alami untuk menyembuhkan luka emosional. Luka-luka tersebut tidak meninggalkan bekas dan sering kali membuat kepribadian seseorang lebih matang.

Lebih lanjut ada beberapa hal yang bisa dilakukan dalam usaha mengelola pikiran yang mengganggu dan berdamai dengan diri sendiri untuk menghadapi trauma yang dialami, seperti:[4]

1. Menghindari hal yang mengingatkan kembali trauma

           Hal ini bisa dilakukan dalam jangka waktu dekat dan disertai dengan usaha yang lain. Usaha menghindar ini bukanlah satu hal yang dapat membuat pikiran menjadi aman, namun hanya menghindari kita untuk berpikir berlebihan terhadap trauma dan tidak dapat lepas dari ingatan tersebut.

2. Melakukan kegiatan menyenangkan yang dapat mengalihkan pikiran

           Sekali lagi, ini bukanlah hal utama yang dapat menenangkan pikiran terhadap ingatan trauma yang dialami. Kegiatan ini bertujuan untuk mengisi waktu luang dengan kegiatan positif sehingga pikiran kita terisi dengan hal-hal yang positif, misalnya mencoba memulai menanam tanaman, membuat kerajinan tangan, dan kegiatan kreatif lainnya.

3. Memperhatikan diri sendiri. Dengan merawat fisik untuk tetap sehat, perasaan dan pikiran kita akan terbawa menjadi sehat juga. Dengan makanan yang sehat dan perilau hidup yang sehat akan menyediakan energi positif bagi pikiran dan jiwa.

4. Mengikuti kegiatan kelompok dukungan. Mencurahkan pikiran dan perasaan dengan orang lain yang mengalami trauma yang sama akan membantu mengurangi luka yang ada dan pikiran yang mengganggu pada korban kekerasan seksual. Dalam kelompok dukungan, kita melihat orang lain yang mengalami peristiwa serupa dan belajar cara mengatasinya dari mereka.

5. Membicarakan dengan pendamping, konselor, atau psikolog. Kesehatan pikiran dan jiwa seseorang dapat ditangani oleh orang yang ahi dalam bidang tersebut. Konselor dapat membantu kita untuk menangani pikiran atau perasaan yang terlalu kuat.




BAB III
PENUTUP 

 Kesimpulan

        Korban kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya merupakan pelakunya saja tetapi korban lain yang tidak mengalami trauma secara langsung seperti anak-anak. Korban maupun pelaku KDRT seolah terjerat dalam mata rantai kekerasan yang sulit di putus, sehingga hal ini mengembangkan persepsi yang salah tentang kekerasan dan pada akhirnya mempengaruhi ketidakmampuan menyesuaikan diri dan menyelesaikan masalah-masalah pribadi mereka kelak. Setiap orang memiliki rekam jejak kehidupan yang unik dan terkadang masa lalu memang dapat melukai jiwa seseorang. Namun orang tersebut dapat memilih untuk lari dari masa lalunya atau belajar menerima dan menghadapi masa lalunya untuk dapat menjadi pribadi yang lebih baik di masa yang akan datang. Menerima dan berdamai dengan kenyataan hidup memanglah sulit, tetapi jika hal ini dianggap sebagai cobaan dan dijalani dengan baik maka akan menghasilkan kebaikan pula. Penanganan kasus kekerasan pada anak, khususnya gangguan stress/trauma perlu dilakukan secara terpadu, baik bagi korban secara langsung maupun tidak langsung dalam hal ini secara khusus anak yang menyaksikan KDRT. Penanganan masalah KDRT terpadu yang menyasar akar trauma KDRT dapat menjadi pilihan intervensi KDRT yang lebih menyeluruh dan mendalam dan sesuai dengan konteks kekerasan. Terakhir, masih perlu dikembangkan pemahaman dan penelitian KDRT mengenai berbagai dinamika faktor-faktor psikologis trauma KDRT masa kanak-kanak, baik dari perspektif pelaku dan korban. Hal ini dibutuhkan untuk menyusun program intervensi KDRT dalam rangka mencegah gangguan psikologis lebih lanjut. 



DAFTAR PUSTAKA

 

Krahe, Barbara. 2011. Perilaku Agresif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ki Fudyartanta. 2011. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

RAHEEMA: Jurnal Studi Gender dan Anak.

https://www.researchgate.net/publication/339003505_ARTIKEL_DAMPAK_KEKERASAN_RUMAH_TANGGA_BAGI_PERKEMBANGAN_ANAK (Diakses pada tanggal 4 Mei 2020 pukul 21.30 WITA)

 




[1] Barbara Krahe, Perilaku Agresif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2011), h. 239

[2] Ki Fudyartanta, Psikologi Perkembangan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h.26.

[3]https://www.researchgate.net/publication/339003505_ARTIKEL_DAMPAK_KEKERASAN_RUMAH_TANGGA_BAGI_PERKEMBANGAN_ANAK (Diakses pada tanggal 4 Mei 2020 pukul 21.30 WITA)

[4] RAHEEMA: Jurnal Studi Gender dan Anak, hlm.30-31

 










Komentar