DAMPAK KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA TERHADAP PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN ANAK
DAMPAK KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA TERHADAP
PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN ANAK
Hubungan antara trauma menyaksikan peristiwa KDRT dengan munculnya problem psikologis, memang akan melemah seiring meningkatnya usia anak. Atau dengan kata lain kemungkinan munculnya problem perilaku akibat KDRT menjadi lebih rendah jika anak menyaksikan KDRT pada usia yang lebih tua. Hal ini mengindikasikan bahwa usia dan pemahaman yang lebih matang dapat menjadi faktor protektif atas efek negatif trauma KDRT. Hanya saja, tidak semua kekerasan yang dilihat dan di dengar langsung anak dapat selalu dipantau oleh orangtua. Berangkat dari berbagai permasalahan di atas, maka tulisan ini diharapkan dapat mendeskripsikan secara singkat efek dari trauma kekerasan dalam rumah tangga terhadap perkembangan psikis yang dialami oleh anak. Selain itu, tulisan ini juga membahas beberapa upaya/solusi dalam pemulihan yang dapat dilakukan pada trauma dan gangguan stress yang dialami oleh anak.
A. Deskripsi Kasus
Anak-anak yang tinggal dalam lingkup keluarga
yang mengalami KDRT memiliki resiko yang tinggi untuk mengalami penelantaran,
menjadi korban penganiayaan secara langsung, dan juga resiko untuk kehilangan
orang tua yang bertindak sebagi role model mereka. Pengalaman menyaksikan, mendengar, mengalami kekerasan dalam
lingkup keluarga dapat menimbulkan banyak pengaruh negatif pada keamanan dan
stabilitas hidup serta kesejahteraan anak. Dalam hal ini anak menjadi korban
secara tidak langsung atau disebut sebagai korban laten (laten victim). Inilah
dikatakan fitrah kelembutannya sudah tidak ada lagi.[1]
Menurut Bair-Merritt, Blackstone & Feudtner (2006) anak yang
melihat perilaku kekerasan setiap hari di dalam rumah dapat mengalamigangguan
fisik, mental dan emosional. Carlson (2000) mengklasfikasikan
tiga kategori pengaruh negatif KDRT
yang dapat terjadi dalam kehidupan anak yang menjadi korban KDRT, yatitu :[2]
a.
Problem emosional, perilaku dan sosial
b.
Problem kognitif dan sikap
c. Problem jangka panjang.
Gangguan emosional dapat dimanifestasikan dalam bentuk peningkatan
perilaku agresif, kemarahan, kekerasan, perilaku menentang dan ketidakpatuhan
serta juga timbulnya gangguan emosional dalam diri anak seperti : rasa takut
yang berlebihan, kecemasan, relasi buruk dengan saudara kandung atau teman
bahkan hubungan dengan orangtua serta mengakibatkan penurunan self esteem pada
anak. Problem personal anak juga terganggu dan hal tersebut mempengaruhi
kemampuan kognitif dan sikap. Hal ini dapat terlihat dari menurunnya prestasi
B. Analisis Kasus
Ketika
seorang anak melihat kekerasan rumah tangga antara ayah dan ibu nya, hal itu
sudah cukup untuk mempengaruhi perkembangan anak. Anak yang melihat kekerasan rumah
tangga harus dilihat secara serius, dalam artian anak tersebut haruslah
mendapat penanganan yang khusus oleh ahlinya seperti ahli Psikologi. Hal itu
bertujuan agar apa yang dialami atau apa yang dilihat anak tersebut tidak akan
menimbulkan trauma mendalam bagi anak tersebut.
Di dunia nyata, seringkali kita
melihat anak yang menyendiri atau mendadak pendiam, padahal awalnya ia
merupakan anak yang ceria. Dari sini, kita harus waspadai, mungkin saja anak
tersebut mengalami kekerasan rumah tangga. Ketika seorang anak menjadi korban kekerasan rumah tangga ia akan
merasa cemas, ketakutan, meyendiri, mendadak murung, dan lainnya. Lambat laun,
hal ini akan menyebabkan perubahan kepribadian anak dan akan menyebabkan
terganggunya perkembangan anak tersebut.
Di Indonesia, kekerasan rumah tangga
lumayan sering terjadi, lumayan banyak kasus yang dilaporkan, terapi banyak
pula para korban kekerasan rumah tangga yang enggan melapor, hal itu dapat
disebabkan karna takut, diancam pelaku, tidak ingin berpisah dan lain
sebagainya.
Anak yang mengalami ataupun
melihat kekerasan rumah tangga yang terjadi di antara kedua orangtuanya acap
kali susah berkomunikasi ,susah menyampaikan pendapatnya pada oranglain. Hal
itu disebabkan oleh gangguan psikologis anak yang berupa trauma,cemas,
ketakutan akibat melihat kekerasan rumah tangga tersebut.
Kekerasan rumah tangga dapat
memicu terjadinya pengulangan tindakan bagi anak yang melihat atau mengalami
hal tersebut. Terlebih buruk lagi, apabila anak tersebut adalah anak perempuan,
dan dulu pada saat ia masih kecil ia pernah melihat kekerasan rumah tangga yang
dilakukan oleh Ayahnya kepada Ibunya, ia pun akan merasa trauma pada laki-laki,
dan akhirnya pun menyukai sesama jenis.
Hal ini banyak terjadi di sekitar
kita. Tanpa kita sadari, kekerasan rumah
tangga sebenarnya hal yang harus dihindari ataupun dijauhkan dari anak. Karna
kekerasan rumah tangga yang dilihat atau pun dialami anak sangat mempengaruhi
perkembangan anak tersebut.
Kekrasan
rumah tangga seharusnya menjadi perhatian bagi banyak orang, dan harus lah adaya
juga perhatian yang diberikan oleh pemerintah terhadap anak yang mengalaminya,
karena kekerasa umah tangga ini sangat merusak mental dan psikologi anak
tersebut. Memahami
dampak kekerasan rumah tangga bagi perkembangan anak, adalah hal yang penting
demi terciptanya generasi dengan mental yang baik. Adapun dampak kekerasan dalam rumah tangga bagi perkembangan kepribadian
anak:[3]
1. Membentuk mental sebagai korban
Anak – anak korban kekerasan pada
umumnya sudah mengalaminya sejak kecil sehingga mental sebagai seorang korban
sudah terlanjur terbentuk di alam bawah sadarnya. Dengan demikian, bisa saja
tertanam dalam pikirannya bahwa dirinya memang hanya pantas untuk dikorbankan.
Jika memiliki pola pikir seperti itu, sang anak akan terus menerus terjebak pada
siklus menjadi korban tanpa dapat memutuskan rantai tersebut selama hidupnya.
2. Melakukan kekerasan
Akibat dari kekerasan yang dialami
bukan hanya menjadi korban semata, namun anak yang juga menjadi korban
kekerasan justru bisa berubah menjadi pelaku kekerasan tersebut. Misalnya, ada
penelitian yang mengungkap bahwa perilaku membully justru banyak dilakukan oleh
mereka yang dulunya pernah menjadi korban bullying, dan kemungkinan itu sangat
tinggi.
3. Rendahnya kepercayaan diri
Kepercayaan diri anak yang rendah seringkali disebabkan oleh ketakutan akan melakukan sesuatu yang salah dan ia akan mengalami kekerasan lagi. Hal ini akan menyebabkan perkembangan anak terhambat. Anak akan sulit menunjukkan sikap inisiatif dalam memecahkan masalah, bahkan mengalami kesulitan bergaul.
4. Mengalami trauma
Kekerasan yang dialami anak akan
menimbulkan luka hati dan juga trauma pada anak. Dampaknya dalam kehidupan anak
selanjutnya akan sangat besar, salah satunya depresi, stress, dan gangguan psikologis
lainnya yang dapat mengganggu kehidupan sosial serta aktivitas sehari – hari.
Anak juga akan menjadi takut tehadap segala bentuk kekerasan, bahkan yang
terkecil sekalipun, misalnya suara – suara keras, pembicaraan bernada tinggi,
dan lain – lain.
5. Perasaan tidak berguna
Anak- anak yang sering mengalami
kekerasan dapat mengembangkan perasaan tidak berguna di dalam dirinya. Bukan
hanya itu, namun juga adanya perasaan tidak bermanfaaat dan tidak bisa ditolong
akan berkembang dalam kejiwaan anak. Pada akhirnya, anak akan menjadi pendiam,
mengucilkan diri dari lingkungannya, dan tidak bergaul dengan teman sebayanya
karena merasa hal tersebut lebih nyaman.
6. Bersikap murung
Anak – anak identik dengan
keceriaan, namun tindak kekerasan akan merampas senyum dari wajah seorang anak.
Perubahan yang cukup drastis pada kondisi emosional anak akan langsung
terlihat. Anak akan terlihat menjadi pendiam, pemurung, mudah menangis. Ia juga
sama sekali tidak menunjukkan raut wajah yang ceria dalam keadaan yang menyenangkan
sekalipun. Ketidak mampuan anak untuk mencari cara menghilangkan beban pikiran dengan efektif lah yang akan
menghilangkan perasaan positif dari dirinya.
7. Sulit mempercayai orang
lain
Anak yang mengalami kekerasan
merasa kehilangan figur orang dewasa yang bisa melindunginya, karena itulah
sedikit demi sedikit kepercayaannya kepada orang lain akan mulai terkikis, dan
anak akan sulit menaruh kepercayaan dan keyakinan pada orang lain lagi. Ia akan
menganggap tidak ada orang yang bisa diandalkan untuk memberikan perlindungan
kepadanya, karena itulah maka tidak ada orang yang layak untuk dipercaya oleh
anak.
8. Bersikap agresif
Sikap agresif juga dapat
ditunjukkan anak korban kekerasan sebagai hasil peniruan dari apa yang
disaksikannya sehari – hari. Anak akan belajar bahwa sikap yang penuh kekerasan
itu adalah sikap yang membuat seseorang menjadi kuat, karena itu ia juga harus
bersikap agresif agar dapat menjadi orang yang kuat dan tidak lagi menjadi
korban tindak kekerasan.
9.Depresi
Sikap murung anak yang berlanjut
lambat laun bisa mengarah kepada depresi. Kehilangan kemampuan untuk merasa
bahagia perlahan akan meningkatkan perasaan yang buruk dan depresif sehingga
anak akan selalu dipengaruhi oleh perasaan yang negatif, tanpa adanya keinginan
untuk berpikir positif untuk meningkatkan semangat di dalam dirinya. Anak juga
dapat menderita gangguan kecemasan akut serta depresi kronis.
10. Sulit mengendalikan emosi
Kecenderungan anak yang menderita
kekerasan untuk merasa kurang percaya diri dan tidak mempercayai orang dawasa,
umumnya tidak dapat mengungkapkan perasaannya dengan benar. Anak kesulitan
mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya sehingga mengalami kesulitan dalam
mengendalikan atau menunjukkan emosinya sendiri kepada orang lain.
11. Sulit berkonsentrasi
Tekanan akibat kekerasan yang
diterima anak juga dapat merusak kemampuan anak untuk berkonsentrasi dan fokus
terhadap suatu hal. Misalnya, terhadap kegiatan sekolah dan pelajaran
sekolahnya. Bisa saja minat dan bakat anak yang tadinya tampak besar dan
menjanjikan akan menghilang secara drastis seiring dengan penurunan
kemampuannya untuk berkonsentrasi.
12. Luka, cacat fisik atau
kematian
Tanda – tanda kekerasan fisik yang
dilakukan pada anak bisa berupa memar, bengkak, keseleo, patah tulang, lukaa
bakar, perdarahan dalam, luka pada area kelamin, kurangnya kebersihan dan
ppenyakit menular seksual serta banyak lagi yang tidak semuanya dapat langsung
dilihat dengan jelas. Sudah pasti anak korban kekerasan akan enggan untuk
memberi tahu orang lain mengenai hal yang dialaminya.
Biasanya anak takut jika pelaku
mengetahuinya, kekerasan yang terjadi akan berlangsung lebih buruk, serta tidak
ada orang yang bisa dipercaya. Kekerasan fisik yang berlangsung dalam waktu
lama bisa menyebabkan anak mengalami cacat fisik atau bahkan resiko kematian
ketika luka fisiknya telah menjadi sangat parah.
13. Sulit tidur
Tekanan pikiran yang dialami anak
akan berlanjut hingga mempengaruhi pola tidur anak. Anak akan mengalami
kesulitan tidur dan bahkan bermimpi buruk sebagai hasil dari beban pikiran yang
disimpan di bawah sadarnya. Apabila anak kerap bermimpi buruk yang sukar
dijelaskan penyebabnya, waspadalah karena bisa saja anak sedang mengalami suatu
tinadk kekerasan pada saat itu yang tidak diketahui oleh Anda.
14. Gangguan kesehatan dan
pertumbuhan
Anak yang mengalami kekerasan
dalam waktu yang lama atau berkepanjangan biasanya akan menunjukkan gejala
fisik seperti gangguan kesehatan berupa gangguan jantung, kanker, penyakit
paru, penyakit hati, obesitas, tekanan darah tinggi, kolesterol tinggi, dan
juga kadar protein reaktif c yang tinggi. Bahkan mengalami gangguan penglihatan
pendengaran, gangguan berbahasa, mengalami perkembangan otak yang terbelakang,
dan mengalami ketidak seimbangan kemampuan sosial, emosional dan kognitif.
15. Memiliki kebiasaan buruk
Stres yang dirasakan anak sejak
kecil dapat membawanya memiliki kebiasaan buruk yang dilakukan untuk mengalihkan
pikirannya dari stres tersebut. Misalnya, merokok, menggunakan obat – obatan
terlarang, ketergantungan alkohol, memilih lingkungan pergaulan yang buruk,
melakukan seks bebas, dan banyak lagi yang dilakukan sejak usia dini apabila
tidak ada pertolongan untuk anak korban kekerasan.
16. Kecerdasan tidak berkembang
Kekerasan dapat menekan proses
tumbuh kembang anak. Perkembangn IQ anak akan cenderung menjadi statis dan
bahkan tingkat IQ bisa mengalami penurunan. Perkembangan kognitif anak pun akan
memburuk dan tidak seperti yang seharusnya. Dengan kata lai, kondisi kecerdasan
anaak akan terhambat dengan kekerasan yang dialami anak secara terus menerus.
17. Menyakiti diri sendiri atau
bunuh diri
Anak – anak yang mengalami kekerasan tidak dapat membela diri ataupun mencari pertolongan kepada orang lain. Ketidak mampuan mereka untuk mencari pertolongan tersebut akan menggiring anak kepada situasi dimana mereka sanggup menyakiti diri sendiri sebagai tindakan meminta tolong. Misalnya, mengiris dirinya sendiri dngn maksud menimbulkan luka fisik. Atau bahkan melakukan percobaan bunuh diri karena sudah merasa sangat putus asa.
C.
Solusi
Upaya
pemulihan gangguan
stress/trauma
telah dilakukan oleh banyak ahli terapi, termasuk korban trauma itu sendiri.
Namun dari berbagai upaya tersebut ada beberapa kasus yang berhasil ditangani
dan tidak sedikit pula yang gagal. Joyce Whiteley Hawkes (2006: 46) mencatat,
bahwa: Psikoterapi tradisonal, yang melibatkan usaha mengingat kembali trauma,
merasakan emosi, serta melewati dan mengatasi trauma, boleh dibilang tidak
berhasil. Bahkan proses mengingat kengerian-kengerian di masa lalu tersebut
malah membuka kembali luka emosional mereka dan menyebabkan mereka lebih
terpuruk lagi dalam trauma.
Banyak
kasus trauma sebenarnya hanya dapat terselesaikan dengan mengubah sudut pandang
yang bersangkutan terhadap trauma tersebut. Merubah sudut pandang ini adalah
memberikan keyakinan pada korban bahwa apa yang dia alami merupakan hal yang
khusus dan tidak
semua orang sanggup untuk menjalaninya. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT,
yang artinya: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya. (QS. Al-Baqarah (2): 286).
Dengan
demikian keyakinan dan kepercayaan diri korban yang tinggi untuk hidup normal
pasca trauma merupakan alat yang paling ampuh dalam mengatasi trauma itu
sendiri. Menanamkan kepercayaan diri bukanlah hal yang gampang dan memerlukan
proses yang panjang. Selain itu, bagi korban trauma yang masih anak-anak hal
ini menjadi cukup sulit dan memerlukan bimbingan dan dukungan yang bersifat
kontinyu. Selain itu, untuk menghilangkan perasaan-perasaan bawah sadar yang
mencekam, diperlukan dorongan sugesti pada anak. Tentu saja hal itu harus
dilakukan dengan tekun dan penuh kesabaran dan kasih sayang dari para orangtua
maupun para konselor. Untuk mengatasi trauma pada anak, sebaiknya dilakukan
terapi khusus berupa konseling untuk penyembuhan. Selain itu, orangtua
mengkondisikan anak menjadi tenang dengan demikian tumbuh percaya dirinya
kembali”.
Trauma
adalah istilah untuk syok (atau serangkaian syok) yang meninggalkan bekas yang
dalam dan menyakitkan di otak pasien. Tantangan atau kemunduran kecil yang
terjadi dalam kehidupan normal mungkin akan menggangu selama beberapa hari,
tetapi otak memiliki kemampuan untuk ‘menyembuhkan’. Seperti luka kecil yang
dengan mudah menutup kembali dan tidak meninggalkan bekas luka, otakpun
memiliki mekanisme alami untuk menyembuhkan luka emosional. Luka-luka tersebut
tidak meninggalkan bekas dan sering kali membuat kepribadian seseorang lebih
matang.
Lebih lanjut ada beberapa hal yang bisa dilakukan dalam
usaha mengelola pikiran yang mengganggu dan berdamai dengan diri sendiri untuk
menghadapi trauma yang dialami, seperti:[4]
1. Menghindari hal yang mengingatkan kembali trauma.
Hal ini bisa dilakukan dalam jangka waktu
dekat dan disertai dengan usaha yang lain. Usaha menghindar ini bukanlah satu
hal yang dapat membuat pikiran menjadi aman, namun hanya menghindari kita untuk
berpikir berlebihan terhadap trauma dan tidak dapat lepas dari ingatan
tersebut.
3.
Memperhatikan diri sendiri. Dengan merawat fisik untuk tetap sehat,
perasaan dan pikiran kita akan terbawa menjadi sehat juga. Dengan makanan yang
sehat dan perilau hidup yang sehat akan menyediakan energi positif bagi pikiran
dan jiwa.
4. Mengikuti kegiatan kelompok dukungan. Mencurahkan pikiran dan perasaan dengan orang lain yang
mengalami trauma yang sama akan membantu mengurangi luka yang ada dan pikiran
yang mengganggu pada korban kekerasan seksual. Dalam kelompok dukungan, kita melihat orang
lain yang mengalami peristiwa serupa dan belajar cara mengatasinya dari mereka.
5. Membicarakan dengan pendamping, konselor, atau psikolog. Kesehatan pikiran dan jiwa seseorang dapat ditangani oleh orang yang ahi dalam bidang tersebut. Konselor dapat membantu kita untuk menangani pikiran atau perasaan yang terlalu kuat.
Kesimpulan
Korban kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya merupakan pelakunya saja tetapi korban lain yang tidak mengalami trauma secara langsung seperti anak-anak. Korban maupun pelaku KDRT seolah terjerat dalam mata rantai kekerasan yang sulit di putus, sehingga hal ini mengembangkan persepsi yang salah tentang kekerasan dan pada akhirnya mempengaruhi ketidakmampuan menyesuaikan diri dan menyelesaikan masalah-masalah pribadi mereka kelak. Setiap orang memiliki rekam jejak kehidupan yang unik dan terkadang masa lalu memang dapat melukai jiwa seseorang. Namun orang tersebut dapat memilih untuk lari dari masa lalunya atau belajar menerima dan menghadapi masa lalunya untuk dapat menjadi pribadi yang lebih baik di masa yang akan datang. Menerima dan berdamai dengan kenyataan hidup memanglah sulit, tetapi jika hal ini dianggap sebagai cobaan dan dijalani dengan baik maka akan menghasilkan kebaikan pula. Penanganan kasus kekerasan pada anak, khususnya gangguan stress/trauma perlu dilakukan secara terpadu, baik bagi korban secara langsung maupun tidak langsung dalam hal ini secara khusus anak yang menyaksikan KDRT. Penanganan masalah KDRT terpadu yang menyasar akar trauma KDRT dapat menjadi pilihan intervensi KDRT yang lebih menyeluruh dan mendalam dan sesuai dengan konteks kekerasan. Terakhir, masih perlu dikembangkan pemahaman dan penelitian KDRT mengenai berbagai dinamika faktor-faktor psikologis trauma KDRT masa kanak-kanak, baik dari perspektif pelaku dan korban. Hal ini dibutuhkan untuk menyusun program intervensi KDRT dalam rangka mencegah gangguan psikologis lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
Krahe,
Barbara. 2011. Perilaku Agresif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ki
Fudyartanta. 2011. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
RAHEEMA: Jurnal Studi Gender dan Anak.
https://www.researchgate.net/publication/339003505_ARTIKEL_DAMPAK_KEKERASAN_RUMAH_TANGGA_BAGI_PERKEMBANGAN_ANAK
(Diakses pada tanggal 4 Mei 2020 pukul
21.30 WITA)
[1]
Barbara Krahe, Perilaku
Agresif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2011), h. 239
[2]
Ki
Fudyartanta, Psikologi Perkembangan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2011), h.26.
[3]https://www.researchgate.net/publication/339003505_ARTIKEL_DAMPAK_KEKERASAN_RUMAH_TANGGA_BAGI_PERKEMBANGAN_ANAK (Diakses pada tanggal 4 Mei 2020 pukul 21.30 WITA)
[4] RAHEEMA: Jurnal Studi Gender dan Anak, hlm.30-31
Komentar
Posting Komentar